Lembu Dewa Siwa

“Nama kamu siapa?”, ucapmu. Aku membaca gerak bibirmu dari balik buku menu yang sedang kupegang.
.
Aku mengangkat telapak tanganku, seperti ingin menyapamu. Lalu, aku melipat keempat jari selain ibu jari. Keempat jariku yang terlipat kukunya terlihat olehmu. Ibu jariku menempel ke bagian atas jari telunjuk.
.
“A”, kau mulai mengeja. Aku bahagia kau paham ASL.
.
Kulipat jari kelingking dan jari manis, kuletakkan ibu jariku di atasnya, kemudian kulipat jari tengah dan jari telujukku di atas ibu jari.
.
“N”
.
Aku membentuk angka satu dengan jari telunjuk, melipat ke empat jari yang lain, menempelkan ujung ibu jari ke ujung jari tengah.
.
“D”
.
Kini lambang damai dengan 2 jari, namun kedua jari menempel, aku menundukkan pergelangan tanganku ke depan lalu mengarahkannya ke kiriku, dan menghadapkan punggung tanganku ke arahmu, sehingga 2 kukuku terlihat olehmu.
.
“H”
.
Kuangkat kelingkingku dan melipat empat jari lainnya.
.
“I”
.
Aku mengulang gerakan ke dua disusul posisi tangan ke lima.
.
“N”
.
“I”
.
“Andhini?”, tanyamu.
.
Aku mengangguk cepat sembari tersenyum.
.
“Andhini, lembu Dewa Siwa? Yang patungnya biasa ada di pintu kuil? Yang kabarnya adalah perantara doa umat ke dewata?”, lanjutmu mendeskripsikan arti namaku.
.
Sekali lagi aku mengangguk. Tak banyak yang tahu cerita ini, aku bersyukur mereka bukan dirimu.
.
Kata orang sih tak ada yang namanya kebetulan. Dalam diam aku berharap itu benar.

Leave a comment